Kamis, 10 Desember 2009

Pohon Nasionalisme dan Ironi Globalisasi


-->
Suatu ketika terdapat dua orang pemuda yang tinggal di sebuah desa. Desa tersebut memiliki beberapa fasilitas namun belum dikelola secara maksimal oleh masyarakat sekitar. Mereka hidup tenteram dalam kesederhanaan desa tersebut.
Suatu hari, kedua pemuda mendengar kabar dari masyarakat sekitar mengenai sebuah kota yang letaknya agak jauh dari desa mereka. Mereka mendengar bahwa segala sesuatu di kota tersebut merupakan hal yang modern. Kita hanya membutuhkan uang untuk dapat hidup dengan tenang di sana. Mendengar hal tersebut, salah seorang pemuda tertarik untuk menetap di kota yang dimaksud. Ia mengajak temannya untuk ikut bersamanya. Temannya menolak dengan alasan bahwa Ia hendak membuat desanya sendiri lebih maju. Akhirnya pemuda yang satu tetap tinggal di desa dan yang lainnya pergi ke kota.

Saat-saat awal di kota, pemuda tersebut merasa bagai di surga. Segala kemudahan bisa Ia dapatkan hanya dengan bermodalkan uang. Sementara itu di desa, temannya mencoba mempelajari keunggulan kota tersebut dibandingkan dengan desanya. Ia mulai mencari dan menemukan beberapa potensi desanya yang Ia pikir dapat dikembangkannya. Beberapa minggu kemudian pemuda yang berada di kota mulai kehabisan uang. Ia mencoba bekerja serabutan untuk mencukupi biaya hidupnya. Ia mulai merasakan sengsara hidup di kota. Setelah beberapa tahun, pemuda yang berada di desa telah sukses dalam mengembangkan potensi di desanya. Dengan semangatnya ia membuat kelompok pemuda yang bekerja sama membangun infrastruktur desa. Usaha perkebunan yang Ia sarankan di desanya sukses hingga melejitkan nama desanya. Buah-buah segar hasil perkebunan desanya dikirim ke beberapa kota besar. Pemuda yang berada di kota tetap menjadi pekerja serabutan dan menyaksikan nama desanya menjadi pembicaraan hangat di kota tersebut karena hasil perkebunannya yang bagus. “Sungguh sebuah ironis,” batinnya.
Pemuda pertama merupakan contoh pemuda yang telah terbuai dan terseret oleh arus globalisasi. Ia dengan mudah menerima bahwa sesuatu yang bersifat dari luar itu bagus untuknya. Sementara itu, pemuda yang kedua merupakan contoh pemuda yang sukses membuat rakit di tengah arus globalisasi. Ia memilih dan memilah informasi mengenai sesuatu yang berasal dari luar. Ia sukses memadukan antara informasi globalisasi untuk memajukan desanya.
Hal tesebut merupakan refleksi dari apa yang sedang dialami pemuda Indonesia saat ini. Banyak dari kita yang merasa bahwa hal-hal dari luar negeri itu modern, canggih, keren, mutakhir, dan sebagainya. Kita terbuai oleh paradigma yang kita buat sendiri akan negeri orang lain. Dengan begitu, kita tidak menyadari bahwa kita sampai rela berpaling dari negeri kita. Bukti nyata ada dari aspek seni budaya. Pada umumnya pemuda Indonesia sangat kecanduan dengan musik dan kebudayaan yang bersifat luar negeri. Banyak dari kita yang lebih mengenal pencipta lagu, penyanyi, atau grup band luar negeri dibandingkan dengan yang lokal. Banyak dari kita yang lebih mengenal profil Hoobastank, Greenday, Yui Aragaki, David Archuleta, dan sebagainya dibanding Gesang, W. R. Supratman, Ismail Marzuki, dan Kusbini. Saat ini pemuda Indonesia tengah ditimpa oleh sesuatu yang ironis. Banyak dari kita yang merasa bangga dengan menggunakan produk luar negeri. Padahal kalau kita telusuri, kebanyakan bule lebih memilih membeli produk Indonesia yang harganya lebih murah dengan kualitas yang lebih bagus dibanding produk di Negara mereka. Seharusnya kita bangga akan bangsa kita sendiri.
Mari kita bersatupadu memajukan bangsa Indonesia. Meski tidak mudah mengingat kondisi Indonesia yang sekarang, namun kita tidak boleh menyerah. Jadikan perjuangan-perjuangan pemuda Indonesia terdahulu sebagai inspirasi dan motivasi bagi kita. Kisah mengenai presiden pertama kita Ir. Soekarno merupakan motivasi yang menarik bagi pemuda. Semangat nasionlismenya sudah tercermin sejak umur 15 tahun. Sejak umur 15 tahun dan belajar di sekolah menengah Belanda (HBS) ia sudah bergaul dengan berbagai tokoh pergerakan nasional melawan kolonialisme Belanda. Tekad Bung Karno untuk berjuang bagi bangsa memang sudah terlihat dengan nyata sekali sejak muda.
Sebagai generasi penerus, kita seharusnya ikut berusaha dalam memperbaiki keadaan republik Indonesia. Pernyataan Ir. Soekarno yang menyatakan “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia,” seharusnya menjadi motivasi bagi kita untuk terus menorehkan prestasi demi membangun bangsa. Kita diberi kepercayaan oleh Ir. Soekarno. Pemuda sebagai tonggak perubahan bangsa. Mari kita tanamkan pohon nasionalisme dalam diri kita. Biarkan akarnya mengakar di jantung kita, mengikat teguh keyakinan kita. Biarkan rimbun daunnya menyejukkan hati dan pikiran kita. Biarkan cabang-cabangnya tumbuh, menyebarkan semangat nasionalisme keseluruh tubuh kita. Biarkan Ia berbuah pikiran-pikiran dan semangat membangun bangsa Indonesia yang tercinta.
Jangan jadikan diri kita sebagai benalu yang hanya merusak bangsa. Sekecil apapun partisipasi kita, akan sangat berarti bagi kemajuan bangsa. Mari berjuang merawat pohon nasionalisme dalam diri kita ditengah ironi globalisasi yang sedang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar